1.
DEFINISI
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis, RS Dr.Sardjito).
Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan pemeriksaan CT Scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
yang menjadi petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda- tanda tersebut antara lain:
a.
Ekimosis periorbital (Raccoon eye sign).
b.
Ekimosis retro aurikuler (Battle sign).
c.
Kebocoran CSS (rhonorrea,
ottorhea) dan .
d.
Parese nervus facialis ( N VII )
2. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan
didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada
beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme
Cedera Kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan
oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah
suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala
manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua
:
a. Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala,
lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static
loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai
dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan
pembuluh darah otak. (Bajamal A.H, 1999).
b. Dynamic loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara
cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara
langsung (impact injury) ataupun gaya
tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated
injury). Mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi
(Bajamal A.H , 1999).
1. Beratnya
Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk
menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
a.
Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma.
b.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c.
Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intrakranial.
1. Morfologi
Cedera
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi lokal
dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.
a. Lesi
Lokal meliputi :
1.
Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak d iantara dura dan calvaria. Umumnya
terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri
meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval
lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif
disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurologi timbul
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari
sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran,
nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Ciri
perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
2.
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural
(kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3.
Kontusio ( Perdarahan Intracerebral )
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau
jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi
meluas dan terjadi penyimpangan neurologis lebih lanjut.
3. ETIOLOGI
Fraktur kranium dapat disebabkan
oleh dua hal antara lain :
1. Benda
Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda
Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energy / kekuatan
diteruskan kepada otak. Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung
pada:
a. Lokasi
b. Kekuatan
c. Fraktur
infeksi/ kompresi
d. Rotasi
e. Delarasi
dan deselarasi
Mekanisme cedera kepala
1. Akselerasi,
ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat
pukulan lemparan.
2. Deselerasi.
Contoh : kepala membentur aspal.
3.
Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau
gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling
sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glascow Coma Scale).
Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
a.
Fraktur pada fossa kranii anterior
Meliputi sinus frontal,
etmoidal, dan sfenoidal dan disertai perdarahan hidung atau mulut. Fraktur
fossa anterior mungkin melibatkan
lamina cribriformis (dengan anosmia karena ruptur bulbus olfaktorius) atau
foramen optik (dengan atropi primer optik dan kebutaan). Pasien yang mengalami epistaksis dan LCS merembes dari
hidung menandakan adanya robekan
meningen dan mukoperiosteum. Fraktur yang meliputi
atap orbita seringkali berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva. Black eye
tidak selalu indikasi fraktur fossa anterior.
b.
Fraktur fossa kranii media
Sering terjadi karena
merupakan tempat yang paling lemah pada basis cranii. Secara anatomis ini
karena banyaknya foramen dan saluran di daerah ini. Bisa terjadi cedera n. III,
IV, dan VI apabila dinding lateral sinus kavernosus robek dan terjadi diplopia
dan paralisis m. rektus lateralis. Darah dan LCS mengalir ke hidung (lewat os.
sphenoid) dan atau meatus akusticus eksternus. Cedera wajah (n. VII) dan n.
auditorius mungkin terjadi karena melintasi pars petrosa ossis temporalis.
Perdarahan telinga mungkin disebabkan oleh trauma langsung tanpa melibatkan
fraktur tengkorak.
c.
Fraktur fossa kranii posterior
Biasanya disertai
keterlibatan saraf kranial karena mengenai foramen jugularis, yaitu n. IX, X,
dan XI. Jenis fraktur ini bisa diduga dengan adanya memar di regio
mastoid yang meluas ke bawah melewati m.sternokleidomastoideus. Fraktur yang
meliputi sinus dan cukup hebat untuk merobek duramater dan arachnoid. Darah dan
LCS akan menempati ruang subarachnoid mengalir melalui nostril.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan: mengidentifikasi adanya sol,
hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
2. MRI:
sama dengan CT-Scan dengan
atau tanpa kontraks.
3. Angiografi
Serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan dan trauma.
4. EEG:
memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar
X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER
(Brain Eauditory Evoked): menentukan
fungsi dari kortek dan batang otak.
7. Pungsi
Lumbal CSS: dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
6. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom
intracranial, edema serebral progresif dan herniasi otak. (Brunner dan
Suddarth, 2002 : hal 2215)
a.
Edema Serebral dimana terjadi peningkatan TIK karena
ketidak mampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh
pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b.
Herniasi Otak adalah perubahan posisi ke bawah atau
lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan
iskemia, infark, kerusakan otak irreversible dan kematian.
c.
Defisit neurologic dan psikologik
d.
Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih,
septicemia)
e.
Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielytis,
meningitis, abses otak)
7.
Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan
secret sekunder akibat
kehilangan reflek batuk.
2.
Ketidakefektifan pola nafas b.d depresi batang otak
3.
Gangguan perfusi
cerebral b.d peningkatan TIK, edema serebri, penekanan pembuluh
darah & jaringan cerebral.
4.
Sindrom defisit self care b.d kelemahan
Baca artikel sejenis : Asuhan keperawatan fraktur servikal
0 komentar:
Posting Komentar